Monday, September 15, 2008

Pancasila Sebagai Falsafah Negara

Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat. Antara lain terkenallah temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai “satu-satunya azas” dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain unsur-unsur lokal (”milik dan ciri khas bangsa Indonesia”) diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman (”ordo cognoscendi”), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis (”ordo essendi”) yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.

Pancasila sebagai Ideologi Negara

Sebagai tambahan referensi untuk mengerjakan tugas PKn, maka kutemukan artikel yang berjudul Ideologi Pancasila di Tengah Perubahan Dunia yang ditulis oleh Siswono Yudo Husodo, Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Dunia berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan yang terjadi itu ikut mewarnai kehidupan bangsa kita secara fundamental. Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya telah berhasil memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah Rowan Gibson (1997) yang menyatakan bahwa The road stop here. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu. 

Pancasila Sebagai Falsafah Negara

Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat. Antara lain terkenallah temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai “satu-satunya azas” dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain unsur-unsur lokal (”milik dan ciri khas bangsa Indonesia”) diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman (”ordo cognoscendi”), dan bukan bertolak dari urut-urutan logis (”ordo essendi”) yang menempatkan Allah sebagai prioritas utama.

pancasila sebagai ideologi

Ideologi Pers dan Media

Oleh : Azyumardi Azra
Hampir tidak ragu lagi, kebebasan media di Indonesia luar biasa. Sebagian orang mungkin dengan nada marah menyebut itu sudah 'kebablasan'. Tidak banyak negara yang memiliki pers sebebas Indonesia, negara-negara Barat sekalipun. Tak ada di negara manapun di muka bumi, misalnya, majalah Playboy dijajakan di persimpangan jalan Jakarta.
Majalah ini ditawarkan secara bebas kepada para pengendara dan penumpang mobil. Padahal, di negara Barat sekalipun, media seperti itu dijual secara sangat restriktif; di pojok yang tinggi yang hanya bisa dijangkau orang dewasa. Negara kita seolah tidak berdaya menghadapi gejala ini. Itulah salah satu 'buah' dari kebebasan pers dan media massa dalam masa reformasi, di mana pers dan media massa tidak lagi memerlukan izin penerbitan dan usaha. Juga tak ada lagi pembredelen, seperti masa Orde Baru. Hasilnya, kita menyaksikan terjadinya 'ledakan' berbagai macam media massa, sejak dari majalah, tabloid, surat kabar, dan juga media elektronik. Banyak juga yang tidak bisa bertahan lama; tetapi sebanyak yang bangkrut, sebanyak itu pula yang tumbuh.

Membumikan Pancasila dan UUD 1945

ANALISIS HUKUM
Membumikan Pancasila dan UUD 1945
Oleh Jimly Assiddiqie
Ketua Mahkamah Konstitusi



Kamis, 20 Juli 2006
Pancasila -- setelah Perubahan Keempat UUD 1945 -- kedudukan konstitusionalnya sebagai dasar negara menjadi semakin jelas dan kokoh. Kenapa? Karena, pertama, kelima prinsip pokok yang dijadikan sebagai dasar negara dalam rumusan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakui secara eksplisit dan implisit bernama Pancasila.



Itu terbukti bahwa dalam pembahasan rancangan Perubahan Keempat, beberapa fraksi di DPR berusaha mencantumkan kata Pancasila sebagai nama kelima prinsip dimaksud disepakati tidak jadi dicantumkan. Alasannya, penamaan itu sudah dengan sendirinya dipahami dari konvensi yang berlaku dalam sejarah ketatanegaraan di masa lalu, sehingga penyebutan kata Pancasila untuk sekadar memberi nama kepada kelima sila dalam Pembukaan UUD 1945 dianggap tidak diperlukan.
Artinya, diakui secara implisit bahwa nama kelima sila itu adalah Pancasila, dan ini berlaku sebagai konvensi ketatanegaraan atau pun sebagai kenyataan (faktisitas hukum) yang berlaku mengikat. 

Penemuan Kembali Pancasila di Tengah Arus Globalisasi

Pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia sekarang sedang menghadapi tantangan berat, karena sebagian besar dari rakyat, elite politik dan tokoh-tokoh masyarakat sedang terkena penyakit amnesia sejarah. Mereka lupa bahwa bangsa Indonesia memiliki idologi Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka sangat disibukkan oleh berbagai isu parsial seperti masalah HAM, lingkungan hidup, keterwakilan perempuan, pilpres dan pilkada langsung, korupsi, kenaikkan BBM dan sebagainya.

Benar bahwa isu-isu tersebut sangat penting, akan tetapi menyelesaikan isu-isu tersebut kasus perkasus tidak akan bisa menyelesaikan problem kebangsaan kita secara menyeluruh dan mendasar. Kesibukkan yang berlarut-larut inilah yang kemudian menggeser persoalan substansial bangsa Indonesia, yaitu dilupakkannya Pancasila oleh sebagian besar rakyat dan elite politik kita. Selama sembilan tahun massa reformasi, isu-isu yang terkait dengan nation interest tidak menjadi mainstream. Baru belakangan ini, atas nama 100 tahun Kebangkitan Nasional, Pancasila dibicarakan kembali.

PENUANGAN PANCASILA DI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



Ditulis oleh Moh. Mahfud MD
Senin, 21 Juli 2008 09:05

Pertanyaan aktual
Pertanyaan pokok dan aktual yang dapat dimunculkan dari judul di atas adalah: bagaimanakah ide dan realita penuangan nilai-nilai Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? Memang kalau didengar secara sekilas saja pertanyaan ini tampak tidak aktual karena seakan-akan mempertanyakan kembali masalah yang sudah jelas dan tak perlu dipertanyakan lagi. Tetapi ada tiga hal yang sangat relevan dalam memunculkan pertanyaan ini. Pertama, pada saat ini kita telah memiliki tata hukum yang baru, terutama dalam bidang hukum tata negara dan politik perundang-undangan berkenaan dengan Perubahan UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 1999. Kedua, Dalam realitas politik sangat terasa bahwa sejak era reformasi semangat menggelorakan Pancasila mulai mengendur. Ketiga, belakangan ini muncul polemik tentang kesesuaian beberapa produk peraturan perundang-undangan dengan Pancasila.

Pengertian Pancasila

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa IndonesiaPancasila digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan aktivitas dan kehidupan di dalam segala bidang. Dengan kata lain semua tingkah laku dan perbuatan setiap manusia Indonesia harus sesuai dengan sila-sila Pancasila.

Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa
Pancasila sudah menjadi jiwa setiap rakyat Indonesia dan telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan.

Pengertian Pancasila

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
Pancasila digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan aktivitas dan kehidupan di dalam segala bidang. Dengan kata lain semua tingkah laku dan perbuatan setiap manusia Indonesia harus sesuai dengan sila-sila Pancasila.

Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa
Pancasila sudah menjadi jiwa setiap rakyat Indonesia dan telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan.

Pancasila sebagai dasar Negara
Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan Negara atau dasar mengatur penyelenggaraan Negara.
Menurut Prof. Dr. Notonegoro, SH. ; Pancasila merupakan norma hukum pokok atau pokok kaidah fundamental dan memiliki kedudukan yang tetap, kuat, dan tidak berubah. Pancasila juga memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum.
Penegasannya tercantum dalam:
1. Pembukaan UUD 1945 alinea IV
2. Tap MPR No.XVII/MPR/1998
3. Tap MPR No.II/MPR/2000

Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia
Pancasila merupakan dasar filsafat negara dan ideologi negara. Yang kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan dan mengatur penyelenggaraan negara.

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia
Merupakan fungsi Pancasila dilihat secara yuridis ketatanegaraan. Tap MPR No. III/MPR/2000 mengatur tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia
Pancasila disahkan bersama-sama dengan disahkannya UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. PPKI merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan perjanjian luhur tersebut.

Pancasila sebagai cita-cita bangsa Indonesia
Cita-cita luhur bangsa Indonesia tegas termuat dalam Pembukaan UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 merupakan perjuangan jiwa proklamasi, yaitu jiwa Pancasila. Dengan demikian Pancasila merupakan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia.

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada se­dangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang yang transenden­.

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua ke­lompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kr­itis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahass tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip­- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika indi­vidu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika so­sial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam­
hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada
pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dila­wankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika
banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikata­kan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

Filsafat di­artikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya "keberhargaan' (Worth) atau 'kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan ­kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena,229)

Didalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesu­atu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada susuatu itu.

Suatu kegiatan manusia untuk menghu­bungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan o1eh sub­jek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsayang dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah dan baik

Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dam­baan-dambaan dan keharusan. Maka nilai bermakna das Sollen, bukan das-Sein yang artinya bahwa das Sollen harus menjelma menjadi das sein yang ideal harus menjadi real yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.

Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut.

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga maacam, yaitu:

1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.

2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohanimanusia nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam yaitu :

a) Nilai kebenaran

b) Nilai keindahan

c) Nilai kebaikan

d) Nilai religius

Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian,_tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematikaMaha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan hirarkhis yang dimulai dari sila Ketuhanan yang (Darmodiharjo,1978).

Nilai religius merupakan suatu ni!ai yang tertinggi dan mutlak, artinya nilai religius tersebut heirarkhinya di atas segala nilai yang ada dan tidak.dapat.di jastifikasi berdasarkan akal manusia karena pada tingkatan tertentu nilai tersebut bersifat di atas dan di luar kemampuan jangkauan akal pikir manusia.

Dalam kaitannya dengan devisiasi maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumen­tal dan nilai praksis:

a) Ni1ai Dasar

Nilai ini memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati mela­lui indra manusia, namun dalam realisasinya ini berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata namun nilai memiliki nilai dasar, yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan obyektif segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan, maka nilai tersbut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima, sehingga segala sesuatu diciptakan berasal dari Tuhan. Jika nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia, maka nilai-nilai tersebut bersumber pada hakikat kodrat manusia se­hingga nilai-nilai dasar kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum maka diistilahkan sebagai hak dasar. Hakikat nilai dasar itu berlandaskan pada hakikat sesuatu benda, kuantitas, kualitas, aksi, relasi, ruang maupun waktu, sehingga nilai dasar dapat disebut sebagai sumber norma pada gilirannya direalisasikan.dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis. Walaupun dalam aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat berten­tangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasai praksis tersebut.

b) Nilai Instrumental

Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Bilamana nilai instrumental ter­sebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-­hari maka suatu norma moral. Jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun negara maka nilai-nilai instrumental merupakan suatu arahan kebijaksanaan atau strategis yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.

c) Nilai praksis

Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata, sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai instrumental namun tidak bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya oleh karena nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sis­tem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermaanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi., dalam bersikapdan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.

Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan dengan harapan, cita-cita , keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan internal manusia. Nilai ini bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberi­kan oleh subjek dan bersifat objektif maka nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia.

Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Terdapat berbagai macam norma dan berbagai macam norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan aleh suatu kekusaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum. Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.

Moral merupakan suatu ajaran­-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan ber­tindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996). Menurut De Vos (1987), bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan yaitu pengertian moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.

Ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri.

Etika Politik

Filsafat teoretis membahas tentang makna hakiki segala sesuatu antara lain: manusia, alam. benda fisik, pengetahuan bahkan tentang hakikat yang transenden. Dalam hubungan ini filsafat teoritis pada akhirnya sebagai sumber.Pengembangan ha1-hal yang bersifat praksis termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat praksis sebagai bidang kedua yang membahas dan mempertanyakan aspek praksis dalam kehidupan manusia yaitu etika yang mempertanyakan dan membahas tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, ma­syarakat, bangsa dan negara lingkungan alam serta terhadap Tuhannya (Suseno, 1987)

Pengelompokan etika sebagaimana dibahas di muka dibedakan atas etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan manusia, sedangkan ertika khusus membahas prinsip-­prinsip dalam hubungannya dengan kewajiban ma,nusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Etika khusus dibedakan menjadi pertama etika indi­vidu yang membahas tentang kewajiban manusia sebagai individu ter­hadap dirinya sendiri serta melalui suara hati terhadap Tuhannya, dan kedua - etika sosial membahas kewajiban serta norma-norma moral yang , se­harusnya dipatuhi dalam hubungan dengan sesama manusia. masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu, misalnya etika keluarga, etika profesi, etika lingkungan, etika pendidikan, etika seksual dan termasuk juga etika politik yang menyangkut dimensi politis manusia.

Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

reposting from : http://dark_udo.blogs.friendster.com

Perhatian orang tua pada perkembangan anak

Orang tua dan pengasuh anak-anak harus belajar tanda-tanda yang paling penting yang menunjukkan apakah anak berkembang secara normal. Me...