Monday, September 15, 2008

PENUANGAN PANCASILA DI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



Ditulis oleh Moh. Mahfud MD
Senin, 21 Juli 2008 09:05

Pertanyaan aktual
Pertanyaan pokok dan aktual yang dapat dimunculkan dari judul di atas adalah: bagaimanakah ide dan realita penuangan nilai-nilai Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? Memang kalau didengar secara sekilas saja pertanyaan ini tampak tidak aktual karena seakan-akan mempertanyakan kembali masalah yang sudah jelas dan tak perlu dipertanyakan lagi. Tetapi ada tiga hal yang sangat relevan dalam memunculkan pertanyaan ini. Pertama, pada saat ini kita telah memiliki tata hukum yang baru, terutama dalam bidang hukum tata negara dan politik perundang-undangan berkenaan dengan Perubahan UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 1999. Kedua, Dalam realitas politik sangat terasa bahwa sejak era reformasi semangat menggelorakan Pancasila mulai mengendur. Ketiga, belakangan ini muncul polemik tentang kesesuaian beberapa produk peraturan perundang-undangan dengan Pancasila.


Oleh sebab itu untuk menjawab pertanyaan pokok dengan segala latar belang persoalannya tersebut uraian berikut akan didahului dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, yaitu, mengapa nilai-nilai Pancasila harus dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan, bagaimana cara menuangkannya, dan bagaimana untuk menjaga agar penuangan nilai-nilai Pancasila tersebut di dalam peraturan perundang-undangan dapat benar-benar terlaksana.
Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut uraian di bawah ini akan menjawabnya dengan menegaskan dulu kedudukan Panacasila di di dalam tata hukun untuk kemudian mengurai ide, instrumen hokum, dan fakta tentang penuangan Pancasila tersebut.
Dengan demikian tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan aktual dan ketiga latar belakang tersebut dengan menitikberatkan pada keharusan ideal untuk kemudian mengaitkannya dengan kenyataan di lapangan.

Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum
Sejak negara didirikan pada tahun 1945 telah ditetapkan bahwa dasar dan ideologi negara kita adalah Pancasila. Latar belakang dan konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dapat dilihat dari sekurang-kurangnya tiga aspek yakni politik, fislosofis, dan yuridis (hukum dan peraturn perundang-undangan). Dari aspek politik Pancasila dapat dipandang sebagai modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang sangat luas dan mejemuk dalam prinsip persatuan. Dari sudut filosofis Pancasila merupakan dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indoneis.

Dari sudut hukum Pancasila menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukun di Indonesia. Oleh sebab itu setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasar pada Pancasila dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling rendah hirakinya. Hukum-hukum di Indonesia juga harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu membangun segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdasakan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan negara tersebut harus diajadikan orientasi poloitik pembangunan dan politik hukun sehingga politik hukum haruslah dipandang sebagai upaya menjadikan hukum sebagai alat pencapaian tujuan negara dari waktu ke waktu sesuai dengan tahap-tahap perkembangan masyarakat.
Dalam kedudukannya yang seperti itu dan dalam kaitan dengan politik pembangunan hukum maka Pancasila yang dimasksudkan sebagai dasar pencapaian tujuan negara tersebut melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum, yaitu:
Pertama, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah bertujuan membangun dan menjamin integrasi negara dan bangsa Indonesia baik secara teritori maupun secara ideologi. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi (menyebabkan) terjadinya disintegarsi wilayah maupun ideologi karena hal itu bertentangan dengan tujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terikat dalam persatuan.
Kedua, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi sekaligus. Demokrasi yang menjadi dasar politik (kerakyatan) menghendaki pembuatan hukum berdasar kesepakatan rakyat atau wakil-wakilnya yang dipilih secara sah baik melalui kesepakatan aklamasi maupun berdasar suara terbanyak jika mufakat bulat tak dapat dicapai; sedangkan nomokrasi sebagai prinsip negara hukum menghendaki agar hukum-hukum di Indonesia dibuat berdasar susbtansi hukum yang secara filosofi sesuai dengan rechtside Pancasila serta dengan prosedur yang benar. Dengan demikian hukum di Indonesia tak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar.
Ketiga, hukum yang dibuat di Indonesia harus ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari penuntun yang demikian maka tidak dibenarkan muncul hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploiatasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum-hukum di Indonesia harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. Oleh sebab itu hukum-hukum di Indonesai harus mampu memberi proteksi khusus kepada kelompok yang lemah agar mampu mempersempit jurang sosial-ekonomi yang mungkin timbul karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah. Hukum yang berkeadilan social, dengan demikian, adalah hukum yang dimaksudkan untuk mempersempit jurang antara yang kuat dan yang lemah dan antara yang miskin yang kaya.
Keempat, hukum yang dibuat di Indonesia haruslah didasarkan pada troleransi beragama yang berkeadaban yakni hukum yang tidak mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak perduli atau hampa spitrit keagamaan). Indonesia sebagai Negara Pancasila adalah sebuah religious nation state, negara kebangsaan yang religius yang memberi perlindungan kuat terhadap setiap warganya untuk memeleuk dan melaksnakan ajaran agamanya masing-masing tanpa boleh saling mengganggu, apalagi mengarah pada disintegrasi. Di dalam konsepsi yang demikian maka hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri. Jadi untuk hukum agama negara bukan mewajibkan pemberlakuannya menjadi hukum formal yang eksklusif melainkan memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanan bagi yang ingin beribadah dengan penuh toleransi. Penegakan penuntun yang demikian sangat penting ditekankan karena masalah agama adalah masalah yang paling asasi sehingga tak seorang pun boleh memaksa atau dipaksa untuk memeluk atau tidak memeluk agama tertentu. Pelaksanaan ajaran agama, dengan demikian, harus dilaksanakan dengan penauh toleransi dan berkeadaban.

Penuangan di dalam peraturan perundang-undangan
Selanjutnya marilah kita lihat bagaimana Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu harus dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum formal. Penglihatan atas ini penting karena dengan kedudukannya yang seperti itu Pancasila harus dijabarkan di dalam peraturan perundang-undangan dengan semua kaidah penuntunnya. Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri dari UUD 1945, UU/Perppu, PP, Perpres, dan Perda.

Penuangan di dalam UUD
Isi UUD secara keseluruhan dimaksudkan mengatur rambu-rambu pokok untuk mengelaborasi empat kaidah penuntun hukum Pancasila yang kemudian dilembagakan dari Pusat sampai ke Daerah-daerah dan harus dijadikan pedoman dalam pembuatan peraturan-perundang-undangan lainnya.
Penuntun petama (semua peraturan perundang-undangan harus menjamin integrasi atau keutuhan ideologi dan teritori negara dan bangsa Indonesia) sesuai dengan tujuan melindungi segenap bangsa dan selutruh tumpah darah Indonesia dapat dilihat dari ketentuan tentang pilihan bentuk negara “kesatuan” (pasal 1 ayat 1) yang tidak dapat diubah dengan prosedur konstitusional (pasal 37 ayat 5). Pasal 30 mengatur sistem pertahanan dan keamaman untuk menjamin keutuhan territori dan ideologi.
Penuntun kedua (negara harus diselenggarakan dalam keseimbangan antara prinsip demokrasi dan nomokrasi) dapat dilihat di dalam pasal 1 ayat (2) yang menegaskan prinsip demokrasi (kedaulatan berada di tangan rakyat) dan pasal 1 ayat (3) yang menegaskan prinsip nomokrasi (Indonesia adalah negara hukum). Kemudian ditentukan juga adanya lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPD) dan cara pemilihan Presiden serta pemilihan kepala daerah yang harus demokratis. Untuk mengontrol agar semua kebijakan negara dan kegiatan seluruh bangsa berjalan sesuai dengan hukum (nomokrasi) pasal 24 mengatur tentang kekuasaan kehakiman dan pasal 28 mengatur tentang HAM.
Penuntun ketiga (negara harus menjamin keadilan sosial) diatuar di dalam pasal-pasal tentang kesejahteraan sosial yang mencakup penguasaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, pemeliharaan fakir miskin oleh negara, sistem perekonomian, dan sebagainya.
Penuntuh keempat (negara harus menjamin tegaknya toleransi beragama yang berkeadaban) diatur di dalam pasal 29 yang menjamin kemerdekaan untu memeluk dan melaksanakan agama apa pun yang diyakini oleh setiap warga negara. Tentang ini diatur juga di dalam pasal 28 tentang HAM. Negara tak perlu mewajibakn berlakunya hukum agama, tetapi wajib melindungi dan memfasilitasi setiap warga negara yang ingin melaksanakan agamanya masing-masing.
Jika dilihat dari urut-urutan sila Pancasila maka penuangan isi Pancasila di dalam UUD 1945 juga tampak jelas. Sila Ketuhanan yang Maha Esa diatur di dalam pasal 29 dan pasal 28; sila kemanusiaan yang adil dan beradab diatur di dalam pasal-pasal 28; sila persatuan Indonesia diatur di dalam pasal 1 (1), pasal 30, dan pasal 37 ayat (5); sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan diatur di dalam pasal pasal 2, 5, 20, 18, 22; sila keaedilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diatur di dalam pasal 28, pasal 33, dan pasal 34. Pasal-pasal lain di dalam UUD 1945 semuanya dibuat untuk mendukung pelaksanaan semua sila Pancasila itu.

Pilpres langsung dan bentuk negara
Perlu juga dicatat dan dijelaskan bahwa di tengah-tengah masyarakat pada saat ini muncul pendapat bahwa isi UUD 1945 hasil amandemen memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan Pancasila. Misalnya ada yang mengatakan bahwa pemilihan presiden secara langsung sebagaimana diatur di dalam 7 bertetentangan dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Menurut pendapat tersebut berdasarkan sila keempat Pancasila maka pemilihan presiden haruslah dilakukan oleh lembaga perwakilan, tidak secara langsung oleh rakyat. Tetapi pendapat seperti itu tidak tepat karena isi sila keempat Pancasila sebenarnya tidak memerintahkan cara pemilihan Presiden, melainkan memerintahlkan adanya lembawa perwakilan rakyat sebagai wadah demokrasi yang membicarakan dan mengolah aspirasi rakyat. Soal pemilihan presiden/wapres bisa dilakukan secara langsung atau tidak langsung ,tergantung perintah UUD dan pengaturan UU tentang itu. Yang penting dari sila keempat Pancasila itu adalah adanya lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat yang dapat memusyawarahkan berbagai aspirasi rakyat untuk penyelenggaraan negara. Sekarang lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat itu sudah ada yakni MPR, DPR, DPD, DPRD. Dengan demikian ketentuan sila keempat Pancasila telah dipenuhi karena tekanannya adalah tersedianya lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat. Sistem pemilihan presiden secara langsung tidaklah bertentangan dengan sila tersebut.
Selain itu perlu ditegaskan bahwa pilihan kita atas bentuk negara kesatuan adalah pilihan politik bangsa, bukan karena ada ketentuan atau keharusan sila ketiga Pancasila yakni persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia sebenarnya dapat dibangun di atas negara kesatuan maupun di atas negara federal. Harus dibedatan antara konsep negara kesatuan dan konsep persatuan. Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sedangkan persatuan adalah masalah kejiwaan atau semangat untuk bersatu. Persatuan dapat dibangun di atas konsep ketatanegaraan dalam bentuk kesatuan maupun bentuk federal.
Di dalam faktanya juga tampak nyata bahwa negara kita pernah menjadi negara federal dengan tetap memakai Pancasila sebagai dasar negara tetapi kita tetap mempunyai semangat untuk bersatu.Bahkan jika dilihat secara lebih luas ada banyak contoh bahwa persatuan bangsa di negara-negara federal dapat sangat kuat sedangkan di negara-negara kesatuan dapat lebih lemah. Amerika serikat, Jerman, dan Malaysia adalah negara-negara federal yang persatuan atau ikatan kebangsaannya sangat kokoh dan tidak diancam oleh gerakan disintegrasi. Sebaliknya Inggeris, Filippina, dan Indonesia adalah negara kesatuan tetapi di dalamnya selalu ada gerakan separatis yang akan merobek persatuan. Di Inggeris ada gerakan separatis Irlandia Utara, di Filippina ada gerakan separatis Moro, di Indonesia pernah ada GAM, OPM, dan gerakan separatis seperti DI/TII. Namun kita tak dapat menutup mata juga bahwa negara federal Uni Soviet hancur berantakan ketika Gorbachev mencoba membuka keran demokrasi setelah selama puluhan tahun negara tersebut diperintah secara otoriter. Dengan demikian persatuan itu sebenarnya dapat dibangun di dalam negara kesatuan maupun negara federal, tergantung bagaimana pemerintah mengelola dan menjaganya.
Tetapi pilihan politik kita sudah tegas bahwa persatuan negara Indonesia akan dibangun di atas negara yang berbentuk kesatuan. Oleh karena ini sudah merupakan pilihan politik yang dicantumkan di dalam UUD maka kita harus melaksanakan bentuk ini dengan sepenuhnya dan harus berusaha kuat membangun “persatuan” di atas bentuk negara kesatuan sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1). Bukan karena persatuan itu identgitik dengan kesatuan melainkan karena itu adalah pilihan politik kita yang dicantumkan di dalam UUD 1945.
Pilihan kita atas bentuk negara kesatuan ini sangatlah kuat, karena selain dicantumkan di dalam pasal 1 ayat (1) juga dicantumlan larangan untuk mengubahnya di dalam pasal 37 ayat (5). Jika pasal-pasal lain di dalam UUD 1945 hasil amandemen dapat diubah dengan prosedur tertentu menurut pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) maka khusus tentang bentuk negara kesatuan tidak dapat diubah. Pasal 37 ayat (5) menegaskan: “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”

Penuangan di dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD
Sangatlah sulit bagi kita di dalam forum ini untuk menilai atau mengukur satu persatu, apakah isi peraturan perundang-undangan di bawah UUD itu benar-benar merupakan penuangan Pancasila atau bukan, karena jumlahnya mencapai ribuan. Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa sudah ada instrumen hukum dan politik yang mengatur agar semua peraturan perundang-undangan memuat isi yang secara berjenjang konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang pada tataran puncaknya harus bersumber pada Pancasila sebagai rechtside yang menjadi sumber dan kaidah penuntun hukum.
Untuk mengukur konsistensi UUD dengan Pancasila relatif mudah karena hanya ada satu UUD yang berlaku meskipun penilaian tentang sesuai atau tidak sesuianya UUD dengan Pancasila itu tidak dapat melalui mekanisme hukum, misalnya, penilaian oleh lembaga yudisial. Hal ini menjadi niscaya karena UUD itu merupakan kesepakatan politik yang memuat penuangan Pancasila secara politik pula tanpa ada lembaga lain yang dapat membatalkannya kecuali perubahan oleh lembaga yang berwenang membuatnya.
Namun untuk peraturan perundang-undangan di bawah UUD akan sulit dinilai satu persatu di dalam sebuah forum seperti ini karena jumlahnya mencapai ribuan bahkan mungkin mencapai puluhan ribu.
Meskipun begitu pada forum ini dapat dikemukakan bahwa ada instrumen hukum dan politik yang dapat mengawal agar isi peraturan perundang-undangan itu selalku sesuai dengan Pancasila. Instrumen itu berupa keharusan pembuatan peraturan perundang-undangan untuk selalu cermat yang kemudian masih dapat diuji lagi melalui “review” baik melalui judicial review, legislative review, maupun executive review.
Peraturan perundang-undangan (regelings) adalah seperangkat peraturan yang dapat dibuat oleh berbagai lembaga yang berwenang di dalam suatu negara yang harus tersusun secara hirarkis berdasar bobot materi dan tingkat kewenangan lembaga yang membuatnya. Susunan hirarkis ini dimaksudkan untuk menjamin konsistensi isi peraturan perundang-undangan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajat atau hirarkinya dengan kaidah penuntun berdasar Pancasila. Peraturan perundang-undangan yang tertinggi (UUD) harus bersumber dan berdasar pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UU harus berdasar dan bersumber pada UUD, Peraturan Pemerintah harus berdasar dan bersumber pada UU, dan seterusnya.
Kontrol atau pengawasan atas kemungkinan distorsi isi peraturan perundang-undangan ini diatur dengan instrumen hukum sendiri yang kokoh yakni political review atau legislative review dan judicial review yang di dalamnya ada juga constitutional review. Bahkan di beberapa negara, seperti di Polandia, ada mekanisme judicial preview yakni memberikan penilaian oleh Mahkamah Konstitusi apakah suatu RUU yang dibuat oleh lembaga legislatif konsisten dengan UUD ataukah tidak sehingga dapat diundangkan ataukah tidak. Uniknya, meskipun dapat melakukan judicial preview Mahkamah Konstitusi di Polandia dapat juga melakukan judicial review atau menguji kembali UU yang sudah diundangkan jika ada gugatan dari pihak yang mempunyai legal standing untuk itu. Ini dimaksudkan untuk kehati-hatian dalam pembuatan UU sekaligus menjaga hak-hak konstitusional warga negara dengan segala institusi-institusinya.

Prolegnas dan Prolegda
Agar di dalam pembuatan UU dan Perda terbangun konsistensi isi dengan Pancasila dan UUD maka pada saat ini di Indonesia telah ditetapkan keharusan adanya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda) yakni penyusunan rencana pembuatan UU di tingkat nasional dan Perda di tingkat daerah untuk periode lima tahun disertai prosedur dan mekanisme pembuatannya yang ketat. Prolegnas dan Prolegda yang dibuat untuk masa lima tahun ini dapat dipenggal-penggal ke dalam program tahunan sebagai prioritas pelaksanaan berdasar anggaran yang disediakan. Selain itu dengan alasan tertentu Prolegnas dapat disisipi dengan materi (RUU) baru jika ada alasan-alasan yang kuat, yaitu, karena ada putusan MK yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum yang harus segera diisi, karena ada Perppu yang mau atau tidak mau harus dibahas pada persidangan DPR berikutnya, karena ada perjanjian internasional yang harus diratifikasi dalam waktu singkat, dan karena ada situasi mendesak yang mengaharuskan adanya UU.
Keharusan adanya Prolegnas dan prolegda dimaksudkan agar semua UU dan Perda yang akan dibuat dapat dinilai lebih dulu kesesuaiannya dengan Pancasila dan UUD 1945 melalui perencanaan dan pembahasan yang matang. Di dalam prolegnas dan prolegda ini diatur pula mekanisme pembuatan UU yang tidak boleh dilanggar dengan konsekuensi jika mekanisme itu dilanggar dapat dibatalkan melalui pengujian oleh lembaga yudisial. Untuk UU pengujiannya terhadap UUD dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian Perda terhadap peraturan yang lebih tinggi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Berdasar pasal pasal 24A Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis lebih tinggi.
Dengan demikian Prolegnas dan Prolegda menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan UUD di dalam UU dan Perda dengan dua fungsi. Pertama, sebagai potret rencana isi hukum untuk mencapai tujuan negara yang sesuai dengan Pancasila selama lima tahun; di sini rencana isi hukum dapat dibicarakan lebih dulu agar sesuai dengan Pancasila. Kedua, sebagai mekanisme atau dan prosedur pembuatan agar apa yang telah ditetapkan sebagai rencana dapat dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang benar.
Kesalahan isi (misalnya bertentangan dengan UUD atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) dan kesalahan prosedur dan mekanisme (misalnya pembuatannya tidak menurut tingkat-tingkat pembahasan yang ditentukan atau tidak memenuhi korum) dapat dimintakan (digugat) pembatalan melalui pengujian oleh lembaga yudisial (judicial review) ke MK (untuk pengujian UU terhadap UUD) dan ke MA (untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi).
Dengan demikian lembaga yudisial (MK dan MA) melakukan pengujian baik secara material (uji materi) maupun secara formal (uji prosedur).

Judicial Review
Ketentuan tentang penuangan Pancasila ke dalam peraturan perundangan dan instrumen pengawasannya melalui judicial review di Indonesia pada saat ini sudah cukup diatur dengan berbagai instrumen konsitusi dan hukum. Menurut pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai hak pengujian UU terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung (MA) menurut pasal 24A melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Meski fungsi pengujian yang dilakukan oleh MK dan MA sebenarnya sama-sama merupakan judicial review tapi secara teknis pengujian UU terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi biasa juga disebut constitutional review sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung biasa disebut judicial review; tetapi keduanya secara umum disebut judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial.
Selain itu, di luar judicial review, sistem ketatanegaraan kita juga mengenal legislative review yakni peninjauan atau perubahan UU dan atau Perda oleh lembaga legislatif (DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemda) sesuai dengan tingkatannya karena isinya dianggap tidak sesuai dengan hukum dan falsafah yang mendasarinya atau karena terjadi perubahan kebutuhan yang tidak bertentangan dengan hukum dan falsafah yang mendasarinya. Mekanisme ini dilakukan di dalam internal lembaga legislatif sebelum dibawa ke judicial review atau karena tidak ada yang mengajukan gugatan judicial review padahal masalahnya sangat penting untuk di-review. Biasanya istilah legislative review ini disamakan dengan political review karena dilakukan oleh poros kekuasaan yang bersumber dari politik. Untuk peraturan perundang-undangan yang berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) political review atau legislative review ini mutlak harus dilakukan pada masa sidang DPR berikutnya sejak Perppu itu dikeluarkan sehingga tidak ada wewenang bagi lembaga yudisial untuk melakukan pengujian atas Perppu.
Ada juga istilah executive review yakni pengujian atau peninjauan atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga ekskutif sendiri tanpa dimintakan judicvial review ke lembaga yudisial karena ada kekeliruan atau kebutuhan baru untuk meninjaunya. Contoh terbaru tentang ini adalah perubahan PP No.37 Tahun 2006 oleh Presiden setelah mendapat reaksi keras dari berbagai kelompok masyarakat karena dinilai bertentangan dengan beberapa UU.
Seperti dikemukakan di atas pengujian peraturan perundang-undangan oleh lemabaga yudisial haruslah didasarkan pada konsistensi isi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hirarkinya masing-masing. Hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang harus dijadikan alat ukur untuk menguji penuangan penuntun hukum Pancasila baru disusun pada tahun 1966 melalui Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Sebelum itu, sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1966, tata hukum kita belum mengenal hirarki peraturan perundang-undangan sehingga selain memunculkan berbagai peraturan yang isinya tumpang tindih (seperti materi Penpres yang mengambil materi UU, Perpres yang tumpang tindih dengan PP, peraturan daerah yang sisebut UU, dan sebagainya).
Sebanarnya pada saat itu sudah ada hirarki peraturan perudang-undangan peninggalan zaman Hindia Belanda (yakni Wet, AMvB, Ordonantie, dan Rv) yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan Aturan Peralihan UUD 1945; namun peraturan perundang-undangan peninggalan Hindia Belanda tersebut tidak dipergunakan dalam praktik sehingga timbul kekacauan dalam tata hukum kita.
Hal yang kemudian menimbulkan kekacauan tata hukum itu kemudian diatur pada tahun 1966 melalui Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Pada tahun 2000 tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut diubah lagi dengan Tap MPR No. III/MPR/2000 dan sebagai konsekuensi dari perubahan (amandemen) UUD 1945 yang tidak mengenal lagi Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan maka tata urutan perundang-undangan diubah lagi dengan UU No. 10 Tahun 2004. Dari sudut pertumbuhan dan perkembangannya dapat ditunjukkan perbandingan tata urutan peraturan perundang-undangan dari waktu ke waktu di Indonesia seperti dalam ragaan grafis berikut ini:
Zaman Hindia BelandaTap MPRS No. XX/MPRS/1966Tap MPR No. III/MPR/2000UU No. 10 Tahun 2004
  1. Wet
  2. AMvB
  3. Ordonantie
  4. Rv
  1. UUD
  2. Tap MPR/S
  3. UU/Perppu
  4. PP
  5. Keppres
  6. Peraturan pelaksanaan lainnya.
  1. UUD
  2. Tap MPR/S
  3. UU
  4. Perppu
  5. PP
  6. Perda
  1. UUD
  2. UU/Per- ppu
  3. PP
  4. Perpres
  5. Perda
  6. Perprop
  7. Perkab/Kota
  8. Perdes
Kemajuan yang harus diakui
Terlepas dari berbagai kekurangan yang tak mungkin dihindari sejak era reformasi dan amandemen UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 1999 haruslah diakui secara jujur bahwa tata hukum kita untuk menyelaraskan secara konsisten isi peraturan perundang-undangan dengan Pancasila sudah mengalami banyak kemajuan. Dari sudut perencanaan isi dan mekanisme pembuatan sudah ada prolegnas dan prolegda. Dari sudut pengujian agar isi dan prosedurnya tidak distortif karena kepentingan politik atau kelalaian sudah ada mekanisme judicial review yang benar-benar dapat dilaksanakan. Menurut catatan sampai akhir tahun 2006, hanya dalam tiga tahun sejak dibentuk MK sudah menguji tidak kurang dari 99 UU dengan putusan yang sebagian terbesar memuaskan karena meluruskan isi UU dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pada itu kita mencatat pula bahwa MA sudah berkali-kali membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah UU karena isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena prosedur pembuatannya yang salah.
Jadi instrumen hukum, bahkan juga instrumen politik maupun akademik, pada saat ini sudah cukup tersedia untuk menjamin penuangan Pancasila secara benar ke dalam peraturan perundang-undangan. Masalahnya tinggal bagaimana kita mempergunakan berbagai instrumen itu agar dapat ikut mengawal nilai-nilai dan kaidah penuntun hukum Pancasila supaya benar-benar menjadi isi atau tertuang di dalam semua peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

Clifford Geertz, “The Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New State” dalam Jason L. Finkle dan Ricahrd W. Gable, Political Development and Social Change,” Joh & Sons Inc. 2nd edition, 1971.

Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Mempertahanankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Jakarta: 2004.

Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Karl D. Jackson & Lucian W. Pye (eds.), Political Power and Communication in Indonesia, California University Press, Barkeley : 1978.

MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta, 2006.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media dan Ford Foundation, Yogyakarta: 1999.

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media dan Ford Foundation, Yogyakarta : 1999.

Moh. Mafud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3 ES, Jakarta, 2007.

Mubyarto, Ekonomi Rakyat, Program IDT, dan demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1997.

Yuliandri, “Azas-azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan,” ringkasan disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, yang dipertahankan tanggal 14 Mei 2007

No comments:

Perhatian orang tua pada perkembangan anak

Orang tua dan pengasuh anak-anak harus belajar tanda-tanda yang paling penting yang menunjukkan apakah anak berkembang secara normal. Me...