Monday, September 15, 2008

Penemuan Kembali Pancasila di Tengah Arus Globalisasi

Pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia sekarang sedang menghadapi tantangan berat, karena sebagian besar dari rakyat, elite politik dan tokoh-tokoh masyarakat sedang terkena penyakit amnesia sejarah. Mereka lupa bahwa bangsa Indonesia memiliki idologi Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka sangat disibukkan oleh berbagai isu parsial seperti masalah HAM, lingkungan hidup, keterwakilan perempuan, pilpres dan pilkada langsung, korupsi, kenaikkan BBM dan sebagainya.

Benar bahwa isu-isu tersebut sangat penting, akan tetapi menyelesaikan isu-isu tersebut kasus perkasus tidak akan bisa menyelesaikan problem kebangsaan kita secara menyeluruh dan mendasar. Kesibukkan yang berlarut-larut inilah yang kemudian menggeser persoalan substansial bangsa Indonesia, yaitu dilupakkannya Pancasila oleh sebagian besar rakyat dan elite politik kita. Selama sembilan tahun massa reformasi, isu-isu yang terkait dengan nation interest tidak menjadi mainstream. Baru belakangan ini, atas nama 100 tahun Kebangkitan Nasional, Pancasila dibicarakan kembali.



Sekarang ini kita -bangsa Indonesia- merasakan begitu banyak ancaman menerpa, mulai dari kekerasan berbasis agama, konflik antar pengikut calon dalam Pilkada, konflik antar kampung, konflik antar suku, kesenjangan sosial yang semakin tajam, harga bahan kebutuhan pokok yang semakin melangit, tiadanya lapangan pekerjaan, separatisme, konsumerisme, kemiskinan yang semakin parah, penghisapan sumber daya pertambangan dan migas oleh kekuatan kapital, privatisasi — yang menyebabkan mahalnya biaya — pendidikan, kesehatan, air bersih dan sebagainya. Tapi kita juga menyaksikan panggung sejarah Indonesia kini diisi oleh gerakan-gerakan sosial-politik yang terperangkap dalam isu-isu parsial. Mereka lupa, bahwa bangsa kita masih memiliki Pancasila sebagai idiologi bangsa yang menjadi pendulum kemana bangsa Indonesia harus mengarah, dan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan rakyat untuk merealisasikan kehidupan kenegaraan yang mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Pancasila lahir dalam masa di mana bangsa Indonesia sedang melawan kolonialisme dengan segala bentuknya. Dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan asing, itulah yang dilawan oleh peregerakan kebangsaan Indonesia pada masa itu. Pancasila dilahirkan bukan secara tiba-tiba, tapi lahir melalui proses-proses pergulatan fisik, nurani dan perenungan yang mendalam terhadap realitas kehidupan kebangsaan pada masa itu. Oleh karena itu, spirit dasar yang terkandung di dalam Pancasila adalah spirit kritik dan perlawanan. Perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, penindasan, penghisapan, ketidakadilan, kekerasan, kezaliman, individualisme, ateisme, separatisme, serta penistaan martabat bangsa dan manusia Indonesia.
Meletakkan Pancasila dalam spirit dasar kelahirannya, memperjelas pemahaman dan penghayatan kita bahwa sebagai Idiologi bangsa, Pancasila pada dasarnya adalah idiologi penantang, idiologi kritis, yang selalu bisa dipakai sebagai tolok ukur penilaian arah kehidupan kebangsaan Indonesia. Arah kehidupan kebangsaan itu dintaranya dicerminkan oleh pilihan kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah yang berkuasa. Dengan kata lain, diukur dari idiologi Pancasila, dapatlah dikritisi dan dievaluasi, bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, migas, sumber daya air, pertambangan dan lain-lain, yang dipimpin oleh kedaulatan pasar (yang bersumber dari kapitalisme global/neolib) adalah kebijakan yang melawan Pancasila. Dengan cara demikian, dapat dijelaskan bahwa kesemerawutan kehidupan kebangsaan kita saat ini, kemiskinan yang merajalela, kekerasan, ketidak adilan dan ancaman perpecahan bangsa, bersumber dari kelalaian kita untuk menempatkan Pancasila sebagai ”grun norm”, sebagai norma dasar yang menjadi sumber hukum kebijakan pemerintah yang berkuasa, dan kealpaan kita untuk menempatkan Pancasila sebagai idologi penantang dan idiologi kritis.

Pemerintahan Orde Baru, yang merasa sudah sangat membumikan Pancasila ke jantung kehidupan rakyat Indonesia ternyata juga melakukan salah tafsir terhadap Pancasila. Karena apa yang terjadi pada masa Orde Baru sesungguhnya, rakyat dikerangkeng atas nama Pancasila, sementara kebijakan-kebijakan politik rezim (UU, Kepres, Kepmen, dll) tidak menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum. Alih-alih menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum, rezim Orde Baru menempatkan militerisme (nilai-nilai militeristik) sebagai sumber hukum dari kebijakan-kebijakan politiknya. Itu sebabnya realitas politik di masa Orde Baru adalah realitas politik yang penuh dengan kekerasan, intimidasi, penundukan, penindasan daya kritis rakyat, pembungkaman hak berbicara dan berpendapat, serta penghancuran harkat dan martabat rakyat dibalik pemuliaan hanya mereka yang berkuasa.

Belajar dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia, sudah waktunya kita berpaling kembali kepada idiologi Pancasila, bukan lagi sebagai alat pembungkam rakyat, atau pembenar kekuasan yang zalim, tetapi sebagai idologi kritis, sebagai “grunnorm” yang mendasari sendi-sendi kehidupan kebangsaan Indonesia. Jika Bung Karno pernah menyakatan ‘PENEMUAN KEMBALI REVOLUSI KITA” sekarang saatnya kita menyatakan “PENEMUAN KEMBALI PANCASILA KITA”.

reposting from :http://www.pergerakankebangsaan.org

No comments:

Perhatian orang tua pada perkembangan anak

Orang tua dan pengasuh anak-anak harus belajar tanda-tanda yang paling penting yang menunjukkan apakah anak berkembang secara normal. Me...